Label

Selasa, 31 Mei 2016

Kekuasaan Presiden RI sebelum Amandemen UUD 1945



Terimaksaih telah berkunjung dan saya harap saudara terbantu dengan informasi yang sudah saya sampaikan dan jangan lupa berikan komentarnya juga ya......:)

Hasil gambar untuk masa sebelum undang-undang 1945 diberlakukan


Kekuasaan Presiden RI sebelum Amandemen UUD 1945


BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Kekuasaan seorang presiden dalam suatu negara modern selalu didasarkan pada konstitusi yang berlaku di negara tersebut. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS 1949, UUD Sementara Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit presiden tanggal 05 Juli 1959 sampai perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali sejak tahun 1999-2002.
Keberlakuan beberapa konstitusi tersebut dipastikan berpengaruh terhadap kekuasaan Presiden Republik Indonesia. Secara garis besar, pada awal kemerdekaan berdasarkan ketentuan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945 kekuasaan presiden sangat besar karena memegang kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, dan hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Namun dalam praktiknya kekuasaan seperti itu hanya bertahan selama dua bulan karena kemudian diterapkan sistem pemerintahan parlementer. Sehingga presiden hanya sebagai kepala negara atau simbol saja, sementara kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kondisi seperti itu terus berlanjut pada masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUD Sementara Tahun 1950 karena dalam kedua konstitusi tersebut presiden hanya sebagai kepala negara yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban dalam pemerintahan karena roda pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kekuasaan presiden kembali menjadi kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan setelah dikeluarkannya dekrit Presiden tanggal 05 Juli 1959 yang intinya kembali diberlakukannya UUD 1945. Sejak saat itu sampai tahun 1999, bangsa Indonesia menjalankan kehidupannya berlandaskan pada konstitusi tersebut, sebelum akhirnya dilakukan perubahan pada tahun 1999-2002 sebanyak empat kali.
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberi kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Oleh karena para ahli hukum tata negara, kekuasaan tersebut dibagi dalam beberapa jenis kekuasaan. Ismail Suny membagi kekuasaan Presiden RI berdasarkan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legislatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai kepala negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan Presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR.
Kekuasaan yang begitu besar tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyebab, ternyata pemerintahan yang otoriter, dan korup. Atas desakan dari berbagai pihak akhirnya pada tahun 1999 sampai tahun 2004 MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Hasil dari perubahan tersebut, salah satunya adalah mereduksi kekuasaan presiden. Perihal yang sangat mendasar dari perubahan tersebut terhadap kekuasaan presiden adalah dengan tidak berlakunya penjelasan UUD 1945. Konsekuensinya, Presiden bukan lagi mandataris MPR. Selain itu, ketentuan mengenai presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan juga ditiadakan.
Atas dasar itu, maka banyak pihak yang menilai bahwa kekuasaan presiden sekarang jauh lebih kecil dibanding dengan kekuasaan presiden sebelum perubahan. Untuk mengetahui hal tersebut, maka akan disajikan kekuasaan presiden sebelum perubahan UUD 1945 mulai dari UUD 1945 pada awal kemerdekaan, Konstitusi RIS, UUD Sementara, dan kembali ke UUD 1945.
1. 2. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah disebutkan pada bagian Latar Belakang, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah mengenai Kekuasaan Presiden Republik Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945.

BAB II
KERANGKA TEORI
II. 1. Konsep Kekuasaan
Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan yang lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan.
Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius.
Sementara menurut teori hukum alam. Kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat seperti itu dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang, yang disebut raja, untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Raja tersebut, dalam teori hukum alam terdapat perbedaan pendapat. Menurut J. J. Rousseau yang mengatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Mekanisme penyerahan tersebut dimulai dari penyerahan masing-masing orang kepada masyarakat sebagai suatu kesatuan, kemudian melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Penyerahan kekuasaan di sini sifatnya bertingkat.
Sedangkan menurut Thomas Hobbes, yang juga dari aliran teori hukum alam, penyerahan kekuasaan tersebut dari masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja dengan melalui perjanjian masyarakat. Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui masyarakat dahulu baru diserahkan kepada raja.
II. 2. Trias Politika dalam Periode Berlakunya UUD 1945
Pengaruh ajaran Trias Politika di Indonesia, dapat dibedakan menjadi dua periode yaitu periode sebelum perubahan UUD 1945 dan periode setelah perubahan UUD yang sama.
Selama periode I berlakunya UUD 1945, 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, negara RI secara resmi tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan Trias Politika. Demikian pula periode berlakunya KRIS dan UUDS 1950, juga tidak secara eksplisit menganut ajaran Trias Politika.
Pada periode II berlakunya UUD 1945, 05 Juli 1959 sampai 19 Oktober 1999, saat mulai berlakunya perubahan pertama UUD 1945, ajaran Trias Politika juga secara resmi tidak dianut oleh negara RI.
UUD 1945 sebelum perubahan, menganut sistem pembagian kekuasaan dan bukan sistem pemisahan kekuasaan. Contohnya: bab III tentang kekuasaan Pemerintahan Negara, bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, bab IX tentang kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh Presiden dengan dibantu oleh para Menteri dan kekuasaan yudisial dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan kehakiman yang ada di bawahnya. Kabinet tidak bertanggungjawab kepada DPR, oleh karena sistem pemerintahannya ialah Presidensial. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Para Menteri tidak dibenarkan menjadi anggota DPR. Di samping itu juga terdapat bab II tentang MPR, bab IV tentang DPA; dan bab VII tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Inti dari uraian di atas ialah bahwa asas-asas ajaran Trias Politika dalam arti pembagian kekuasaan terdapat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini diperkuat oleh ucapan Presiden Soekarno pada upacara pelantikan Menteri Kehakiman tanggal 12 Desember 1963, dalam masa demokrasi terpimpin, yang menyatakan bahwa “setelah kita kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Trias Politika kita tinggalkan sebab asalnya datang dari sumber-sumber liberalisme”. Ucapan Presiden Soekarno ini selanjutnya dituang dalam bentuk resmi, yakni Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman yang dalam Penjelasan Umumnya berbunyi: “Trias Politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional Indonesia. Presiden, pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur tangan atau turun tangan dalam pengadilan, yaitu dalam hal-hal tertentu”.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 ini bertentangan dengan Penjelasan UUD 1945 mengenai pasal 24 dan Pasal 25 yang mengatakan bahwa”Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Ketidaksukaan terhadap asas-asas ajatan Trias Politika juga tampak dalam tindakan Presiden Soekarno yang memberi kedudukan sebagai Menteri terhadap pimpinan DPR Gotong Royong dan MPRS serta Ketua Mahkamah Agung, sehingga kedudukan mereka menjadi kabur, di satu sisi menjadi bagian dari legislatif, disisi lain menjadi anggota badan eksekutif, dan bagi Ketua MA disamping menjadi anggota badan Yudisial, juga menjadi pembantu Presiden.
Kekurangan atas UU No. 19 Tahun 1964 ini, pasa masa Orde Baru telah ditertibkan; UU No. 19 Tahun 1964 yang juga berbau Demokrasi Terpimpin, dicabut dan gantinya ialah UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Akhirnya pada masa reformasi, UU No. 14 Tahun 1970 juga diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2004 no. 8 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu 15 Januari 2004, berdasarkan pertimbangan untuk menyesuaikan denganUUD 1945 pasca perubahan. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 berbunyi:”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”
“Dari uraian di atas jelaslah bahwa NKRI berlandaskan UUD 1945, sebelum perubahan, menganut asas-asas ajaran trias politika dalam arti pembagian kekuasaan.”
II. 3. Teori Asal Kekuasaan Presiden RI
Secara teoritik asal kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
  1. Kekuasaan yang berasal dari pemberian pengakuan kekuasaan;
  2. Kekuasaan yang diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan;
Presiden dalam menjalankan kekuasaan yang diperoleh melalui dua cara tersebut, memiliki hak untuk melaksanakan keleluasaan bertindak, meskipun tidak jelas dasar hukumnya, namun tidak dibenarkan dilaksanakanbertentangan dengan hukum yang berlaku. Keleluasaan bertindak bagi aparat Tata Usaha Negara dinamakan “Freis Ermessen“.
Pengakuan kekuasaan dapat diberikan oleh rakyat melalui UUD 1945, dan dapat diberikan oleh MPR dengan membentuk kekuasaan melalui Ketetapan MPR, sebelum perubahan, serta dapat pula oleh Badan Pembuat Undang-Undang. Syarat utama pada “pengakuan wewenang” ialah menimbulkan kekuasaan yang asli. Kekuasaan yang asli ini, dapat disebut sebagai kekuasaan Presiden yang diperoleh secara atributif. Kekuasaan Presiden dalam fungsinya sebagai Kepala Pemerintahan dan selaku Kepala Negara. Sedangkan kekuasaan Presiden yang diperoleh melalui pelimpahan, secara teoritik hanya dapat dilaksanakan oleh Presiden dalam fungsinya selaku “delegataris” atau “mandataris”.

BAB III
PEMBAHASAN
III. 1. Kekuasaan Presiden RI sebelum Perubahan UUD 1945
Sebelum perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah berganti-ganti konstitsi mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden pada tanggal 05 Juli 1959. Perubahan tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan Presiden. Berikut akan dijelaskan mengenai kekuasaan Presiden pada masing-masing konstitusi tersebut.
III. 1. 1. Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kedudukan Presiden pada posisi yang sangat penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Itu terlihat dengan dimilikinya du fungsi penting oleh presiden, yaitu fungsi sebagai kepala negara dan fungsi sebagai kepala pemerintahan. Untuk itu, kekuasaan yang dimiliki oleh presiden menembus pada area kekuasaan-kekuasaan yang lain, seperti kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. Kekuasaan tersebut akan dijelaskan satu per satu di bawah ini.
  1. Kekuasaan di Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan
Pasal 4 ayat (1) jelas mengatakan: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketentuan pasal tersebut mempunyai makna bahwa Presiden RI adalah satu-satunya orang yang memimpin seluruh pemerintahan.
Kata-kata “menurut Undang-Undang Dasar” berarti wewenang diatur di dalam UUD sehingga pembatasan wewenang tersebut terletak sesuai apa yang tertulis di dalam UUD tersebut. Meskipun begitu, karena Indonesia adalah negara hukum, maka presiden juga harus tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
  1. Kekuasaan di Bidang Legislatif
UUD 1945 memberikan kekuasaan legislatif kepada presiden lebih besar daripada DPR. Selain mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama DPR, dalam kondisi kegentingan yang memaksa presiden juga mempunyai kekuasaan membentuk peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu), serta berhak menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang.
Kekuasaan presiden juga terlihat sangat besar dalam hal menentukan anggaran dan pendapatan negara. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengatakan: “anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.”
  1. Kekuasaan di Bidang Yudisial
Presiden, menurut UUD 1945, juga mempunyai beberapa kekuasaan yudisial, yaitu: pertama, kekuasaan memberi grasi kepada orang yang dihukum, baik berupa penghapusan hukuman atau pengurangan hukuman. Kedua, presiden mempunyai kekuasaan untuk menghentikan penuntutan terhadap orang atau segolongan orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana dengan memberikan abolisi. Ketiga, presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan amnesti. Keempat, presiden mempunyai kekuasaan untuk melakukan rehabilitasi kepada seseorang yang haknya telah hilang akibat putusan pengadilan.
  1. Kekuasaan di Bidang Militer
“Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.” Demikian bunyi pasal 10 UUD 1945 yang dalam praktiknya dipahami bahwa presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Selain itu, presiden, dengan persetujuan DPR, mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain.
  1. Kekuasaan Hubungan Luar Negeri
Kekuasaan mengenai hubungan luar negeri yang sering disebut sebagai kekuasaan diplomatik berupa kekuasaan untuk membuat perjanjian dengan negara lain. UUD 1945 mengatur ketentuan tersebut dalam Pasal 11 yang juga mengatur mengenai kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain. Dalam hal membuat perjanjian, pasal tersebut juga mewajibkan kepada presiden untuk meminta persetujuan DPR.
  1. Kekuasaan Darurat
Kekuasaan ini diatur di dalam Pasal 12 yang mengatakan: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat keadaan bahaya diterapkan dengan undang-undang.” Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam sejarahnya, kekuasaan darurat ini pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno, yaitu: pertama, ketika Perdana Menteri Syahrir diculik. Keadaan Bahaya tersebut diberlakukan mulai tanggal 29 Juni 1946 sampai 02 Oktober 1946. Kedua, ketika suasana politik yang memanas akibat perundingan dengan Belanda menemui jalan buntu. Ketika itu, keadaan bahaya diberlakukan mulai tanggal 27 Juni 1947 sampai 03 Juli 1947. Ketiga, ketika terjadi perebutan kekuasaan di Madiun. Keadaan bahaya diberlakukan mulai tanggal 15 September 1948 sampai tanggal 15 Desember 1948.
  1. Kekuasaan Mengangkat atau Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Secara eksplisit UUD 1945 hanya mencantumkan beberapa pejabat tinggi negara yang harus diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pejabat tinggi negara yang secara eksplisit dikatakan oleh UUD 1945 diangkat dan diberhentikan oleh presiden adalah; menteri-menteri, duta dan konsul. Namun, karena presiden mempunyai kewenangan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dan mempunyai kekuasaan untuk membentuk peraturan pemerintah, maka hampir semua pejabat tinggi diangkat oleh presiden, seperti: hakim-hakim agung, jaksa agung, ketua badan pemeriksa keuangan, dan lain-lain.
III. 1. 2. Kekuasaan Presiden Menurut Konstitusi RIS 1949
Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dalam UUD RIS 1945 kedudukan presiden hanya sebagai kepala negara. Sementara kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dikepalai oleh perdana menteri.
Namun secara formal, presiden juga adalah pemerintah. Karena sifatnya Cuma formalitas, maka kekuasaan dalam pemerintahan bergantung pada menteri-menteri. Semua keputusan atau peraturan harus diambil oleh kabinet, kemudian keputusan atau peraturan tersebut ditandatangani oleh presiden dan ditandatangani oleh menteri.
III. 1. 3. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Serupa dengan UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950 huga secara tegas menyatakan dalam Pasal 45 Ayat (1) “Presiden ialah Kepala Negara.” Karena kedudukan presiden adalah sebagai kepala negara, maka Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas roda pemerintahan, sementara yang harus bertanggungjawab adalah para menteri baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif.
Persoalan kemudian muncul ketika UUD Sementara 1950 tidak secara tegas dalam satu pasal pun yang menyatakan apakah presiden merupakan bagian dari pemerintah bersam-sama para menteri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 UUD RIS, atau yang dimaksud pemerintah itu hanya menteri-menteri saja tanpa presiden.
Keadaan seperti inilah yang kemudian menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Presiden Soekarno menganggap keadaan seperti ini menimbulkan “dualisme” dalam kepemimpinan bangsa di mana pimpinan revolusi dipisahkan dari pimpinan pemerintahan. Pimpinan revolusi justru dilumpuhkan oleh pimpinan pemerintahan dan hanya dijadikan “tukang stempel”.
Menurut Ismail Suny, Presiden adalah bagian dari suatu “dwi-tunggal” Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan para menteri merupakan bagian yang lain. Pendapat ini didasarkan pada penafsiran sistematis penempatan ketentuan mengenai presiden dan menteri-menteri yang ditempatkan secara bersama-sama pada Bagian I dari Bab II dengan kepala; “Pemerintah.” Kemudian apabila dihubungkan Bagian I dari Bab II ini dengan Bagian I dari Bab III terutama Pasal 83, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peniadaan Pasal 68 UUD RIS 1949 dalam UUD Sementara 1950, hanyalah dimaksudkan untuk tidak perlu menjelaskan hal yang sudah dianggap sudah cukup terang.
Dalam hal adanya ketentuan dalam Pasal 85 yang mengharuskan segala keputusan presiden ditandatangani oleh menteri-menteri yang bersangkutan adalah dimaksudkan bahwa menteri-menteri yang tersebut setuju dengan keputusan itu. Persetujuan itu sangat penting karena Pasal 83 UUD Sementara 1950 menyatakan bahwa menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat dalam arti tak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, maksud dari Pasal 83 tersebut adalah untuk memberikan kepada menteri-menteri dan parlemen — tempat menteri-menteri bertanggung jawab — pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, sementara kekuasaan yang dipegang oleh presiden hanya apa yang secara tegas dinyatakan oleh beberapa pasal yang tertera di dalam UUD Sementara 1950.

BAB IV
PENUTUP
Kekuasaan seorang presiden dalam suatu negara modern selalu didasarkan pada konstitusi yang berlaku di negara tersebut. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS 1949, UUD Sementara Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit presiden tanggal 05 Juli 1959 sampai perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali sejak tahun 1999-2002.
Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan yang lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan.
Sebelum perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah berganti-ganti konstitsi mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden pada tanggal 05 Juli 1959. Perubahan tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan Presiden.
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberi kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Oleh karena para ahli hukum tata negara, kekuasaan tersebut dibagi dalam beberapa jenis kekuasaan. Kekuasaan Presiden RI berdasarkan UUD 1945 dibagi menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legislatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat.
Kekuasaan yang begitu besar tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyebab, ternyata pemerintahan yang otoriter, dan korup. Atas desakan dari berbagai pihak akhirnya pada tahun 1999 sampai tahun 2004 MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Hasil dari perubahan tersebut, salah satunya adalah mereduksi kekuasaan presiden. Perihal yang sangat mendasar dari perubahan tersebut terhadap kekuasaan presiden adalah dengan tidak berlakunya penjelasan UUD 1945. Konsekuensinya, Presiden bukan lagi mandataris MPR.

DAFTAR PUSTAKA
Ghoffar, Abdul. 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mahfud, MD., Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sitepu, P. Anthonius. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sitepu, P. Anthonius. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suharto, Susilo. 2006. Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode Berlakunya Undang-Undang dasar 1945. Yogyakarta: Graha Ilmu.
                   Syafiie, Inu Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Pustaka Reka Cipta.

Tidak ada komentar: