Terimaksaih telah berkunjung dan saya harap saudara terbantu dengan informasi yang sudah saya sampaikan dan jangan lupa berikan komentarnya juga ya......:)
Sejarah dan Muatan Nilai
Sebagai sebuah tradisi yang saban tahun digelar, Baayun Anak sarat
dengan sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi, dan prosesi budaya
yang berharga untuk dikaji secara komprehensif.
Menurut catatan sejarah, Baayun Anak semula adalah upacara peninggalan
nenek moyang yang masih beragama Kaharingan. Sejarawan Banjar, H. A.
Gazali Usman menyatakan tradisi ini semula hanya ada di Kabupaten Tapin
(khususnya di Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara). Namun kemudian,
berkembang dan dilaksanakan diberbagai daerah di Kalimantan Selatan.
Tradisi ini menjadi penanda konversi agama orang-orang Dayak yang
mendiami Banua Halat dan daerah sekitarnya, yang semula beragama
Kaharingan kemudian memeluk agama Islam. Karena itu upacara Baayun Anak
tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya Islam ke daerah ini.
Sebagaimana diketahui, setelah Islam diterima dan dinyatakan sebagai
agama resmi kerajaan oleh pendiri kerajaan Islam Banjar, Sultan
Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka sejak itulah Islam
dengan cepat berkembang, terutama di daerah-daerah aliran pinggir sungai
(DAS) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu.
Jalur masuknya Islam ke Banua Halat adalah, jalur lalu lintas sungai
dari Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga
Muara Tabirai sampai ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan memudiki
sungai Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam
sudah masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16.
Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di
kampung Banua Halat biasanya melaksanakan acara Aruh Ganal. Upacara ini
dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran ketika pahumaan
menghasilkan banyak padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis
panen mereka pun melaksanakan Aruh Ganal, yang diisi oleh pembacaan
mantra dari para Balian. Tempat pelaksanaan upacara adalah Balai.
Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para
ulama, akhirnya upacara tersebut bisa diislamisasikan. Sehingga jika
sebelumnya upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra-mantra,
doa dan persembahan kepada para dewa dan leluhur, nenek moyang di
Balai, akhirnya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang
berisi sejarah, perjuangan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad SAW,
dilaksanakan di masjid, sedangkan Sistem dan pola pelaksanaan upacara
tetap. Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis
serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, karena ia
berubah dan menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam (Usman, 2000: 5)
Realitas ini menandai dan menjadi pelajaran penting bagi juru dakwah
sekarang, bahwa kehadiran dakwah pada prinsipnya tidak hanya menjadikan
manusia yang didakwahi (madu) sebagai seorang Muslim, akan tetapi juga
menjadikan etos, budaya, adat-istiadat, semangat, prilaku, pola hidup,
sistem, dan semua yang melingkupi kehidupan masyarakat agar sesuai
dengan ajaran Islam.
Karena itu, jika gerakan menyeru manusia kepada ajaran Islam agar mereka
menjadi seorang muslim diistilahkan dengan dakwah, sedangkan gerakan
untuk menjadikan Islam sebagai pola dasar serta pijakan bagi kehidupan
manusia disebut dengan istilah Islamisasi. Inilah yang disinggung oleh
Alquran dengan perintah agar kita masuk ke dalam Islam secara kaffah,
tidak hanya keyakinan (agama) akan tetapi juga sistem hidup.
Dialektika Agama dan Budaya Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo (1991), agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya; nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan.Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama.Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama. Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, pada prinsipnya sama-sama memberikan
wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan
kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang
baru lahir, Islam memberikan wawasan untuk melaksanakan tasmiyah (pemberian nama) dan akikah (penyembelihan hewan)
bagi anak tersebut, sementara kebudayaan lokal urang Banjar yang
dikemas dalam bentuk tradisi baayun anak yang disandingkan dengan
peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw atau maulid Rasul (sehingga
kemudian menjadi Baayun Maulid) memberikan wawasan dan cara pandang
lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan agar anak yang
diayun menjadi anak yang berbakti, anak yang saleh, yang mengikuti Nabi
Saw sebagai uswah hasanah dalam kehidupannya kelak.
Baayun anak adalah proses budaya yang menjadi salah satu simbol kearifan
dakwah ulama Banjar dalam mendialogkan makna hakiki ajaran agama dengan
budaya masyarakat Banjar. Maulid adalah simbol agama dan menjadi salah
satu manifestasi untuk menanamkan, memupuk, dan menambah kecintaan
sekaligus pembumian sosok manusia pilihan, manusia teladan, Nabi pembawa
Islam, untuk mengikuti ajaran dan petuahnya.
Sedangkan baayun anak penterjemahan dari manifestasi tersebut, karena
dalam baayun anak terangkum deskripsi biografi Nabi Saw sekaligus doa,
upaya, dan harapan untuk meneladaninya.
Baayun anak juga wujud nyata geneus lokal dalam menterjemahkan hadits
dan perintah Nabi untuk menuntut ilmu sejak dari buaian (ayunan).
Tuntutlah ilmu dari sejak dalam buaian (ayunan) hingga liang lahat. Ilmu
yang dituntut adalah ilmu yang telah dianjurkan oleh Nabi; mencakup
ilmu dunia dan ilmu akhirat. Barangsiapa yang ingin memperoleh
kebaikan (kebahagiaan) di dunia, maka tuntutlah ilmu; dan barangsiapa
yang ingin mendapatkan kebaikan di akhirat, maka tuntutlah ilmu; dan
barangsiapa yang ingin memperoleh kebaikan di kedua-duanya, maka
tuntutlah ilmu (HR. Imam Muslim).
Berdasarkan kenyataan di atas, yang dikehendaki dari terjadinya
dialektika antara agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sama-sama
menguntungkan, katakanlah win-win solution, bukan hal-hal yang
menegangkan, apalagi merugikan. Sebab, harmonisasi antara keduanya;
agama akan memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan
kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama.
Oleh karenanya, ketika terjadi ketegangan dan pertikaian, disebabkan
oleh seni, tradisi, budaya lokal atau adat-istiadat yang tidak sejalan
dengan agama, diperlukan rekonsialisasi melalui sentuhan dakwah, yang
sekarang dikenal sebagai pendekatan dakwah kultural. Dakwah kultural
adalah dakwah bijak untuk mempertemukan (mengislamisasikan) tradisi
budaya agar tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Jadi, dakwah kultural tidak hanya sebatas mengunakan medium seni budaya
(Azyumardi Azra, 2003). Atau sebagai suatu upaya menyampaikan ajaran
Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan
lingkungan hidup masyarakat setempat (Hussien Umar, 2003). Namun, dakwah
kultural menghendaki adanya kecerdikan dalam memahami kondisi
masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan dakwah
Islam (Munir Mulkhan, 2003).
Sehingga, dengan begitu, sebuah tradisi tetap akan terjaga dan lestari,
dan tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran agama, sebagaimana
halnya dengan tradisi baayun anak.
Dengan demikian, baayun anak adalah salah satu simbol pertemuan antara
tradisi dan ajaran agama.
Mengayun anak, jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat
Banjar dan Dayak secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk
menidurkan anak-anak. Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca
shalawat, ataupun membaca Alquran, dan silaturrahmi merupakan anjuran
dan perintah agama. Kedua ritus, secara harmoni telah bersatu dalam
kegiatan baayun anak, yang bahkan secara khusus dilaksanakan pada bulan
Rabiul Awal (bulan Maulid) sebagai peringatan sekaligus penghormatan
atas kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Inilah dialetika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama
dan agama datang menuntun budaya.
Sehingga dengan model relasi yang seperti itu mereka tetap menjaga dan
melestarikan sebuah tradisi dengan prinsip setiap budaya yang tidak
merusak akidah dapat dibiarkan hidup, sekaligus mewariskan dan menjaga
nilai-nilai dasar kecintaan umat kepada Nabi Muhammad Saw, untuk
dijadikan panutan dan teladan dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, dan berpemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar