Terimaksaih telah berkunjung dan saya harap saudara terbantu dengan informasi yang sudah saya sampaikan dan jangan lupa berikan komentarnya juga ya......:)
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak
dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas.
Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat
disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas
teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur
perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di
dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan
kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka
dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim
hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di
Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam
secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan
dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam
yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan
kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil
oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah
penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses
Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. 1
B. Identifikasi Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di
Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam
internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas
muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Dari
hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada
beberapa pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana
perkembangan serta keberadaan Hukum Islam pada : 1. Masa Prapenjajahan Belanda
2. Masa Penjajahan Belanda 3. Masa Pendudukan Jepang 4. Masa Kemerdekaan (1945)
5. Era Orde Lama dan Orde Baru 6. Era Reformasi.
BAB II PEMBAHASAN
a. Hukum Islam pada Masa Pra
Penjajahan Belanda merupakan akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara,
menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada
sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam
kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan
sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan,
gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak,
Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh
berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan
ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara
kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan
Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di
pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi
dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu
saja yang kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku.
Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu
saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa
itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang
ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi
terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan
Belanda Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai
dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau
yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat
dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan
sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangan tangannya
di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan,
VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini
disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum- hukum yang asing bagi
mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa
yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat
dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada
tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para
pemeluk agama Islam. - Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang
telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760.
Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. - Adanya upaya
kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa
dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab
Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki
kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah
hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan
hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan
Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur
selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap
wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras
mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui
kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat
jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep daral-Islam dan daral-harb.
Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan
masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat
pribumi, membatasi keberlakuan hukum
Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja. Bila ingin disimpulkan,
maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda
secara kronologis adalah sebagai berikut : - Pada pertengahan abad 19,
Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu
kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum
di Indonesia dengan hukum Belanda. - Atas dasar nota disampaikan oleh Mr.
Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan
undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan
asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian
menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda. - Atas dasar
teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang
pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan,
ia belum diterima oleh hukum adat setempat). - Pada tahun 1925, dilakukan
perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama
dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama
muslim akan diselesaikan dengan 6 hakim agama
Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain
oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun
1942.
C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan
Jepang Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera
Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang
meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral
Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi
keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan
Belanda. Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan
berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya
adalah: - Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa. - Mendirikan Shumubu (Kantor
Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri. - Mengizinkan
berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU. - Menyetujui berdirinya Majelis
Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
Menyetujui berdirinya Hizbullah
sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA. - Berupaya memenuhi
desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan
meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk
menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan”
oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam
selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa
pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru
bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno
Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah
posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih
di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan
politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka
menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat
dimanfaatkan. D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945) Meskipun Pendudukan
Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia,
namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang
memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk
kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Jepang mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para
tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih
mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak
mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat
(Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan
kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini,
paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah,
Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas
dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha
agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam
masyarakat Indonesia”. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI
kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta.
Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat
“Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia
merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Dengan
rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya
pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para
pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal
ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada
banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah
kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia
Timur.
Hatta mengatakan ia mendapat
informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari
taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL
Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan
menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan
tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan
Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui
rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. Pada akhirnya, di periode ini, status
hukum Islam tetaplah samar- samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata
sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang
masih diliputi kabut rahasia suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat
Islam. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya
Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi
kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945- 1950). Menyusul
kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki
kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai
beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil
yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan
perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati,
lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27
Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS
tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik
Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai
konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini
misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan
UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya,
yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa
Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB. Namun saat negara bagian RIS pada
awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan
negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir,
mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai
upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19
Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan
tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika
dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang
signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam
Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang
rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang
Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan
agamanya masing-masing.
Juga pada pasal 43 yang menunjukkan
keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD
Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam
wujud peraturan dan undang- undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal
102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil
umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat
Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum
nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.
Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan
pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada
bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat
tetap. Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan
Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955.
Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden
Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa
kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada
tanggal 5 Juli 1959.
Hal penting terkait dengan hukum
Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa
“Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu
kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas
posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar
sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaimana dalam tataran
aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.
Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak
didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut
dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya
“bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan
DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo
sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus
1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik
Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat
agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di
bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia
pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat
25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan
oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam
mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar
apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis- politis”nya.
E. Hukum Islam di Era Orde Lama dan
Orde Baru Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah
eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan
cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu,
Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan
alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno bersama dengan
PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom.
Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan,
salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan
kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah
salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar
itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam
sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu
membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali
tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Menyusul gagalnya kudeta PKI pada
1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat
menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana
mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde
Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh
Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela
Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer
tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Lalu bagaimana dengan hukum Islam? Meskipun
kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu
tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus
dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama
dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan
Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal,
upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang
mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian
membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama
sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU
ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara
langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya
hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama
ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk
mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan
hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil
kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama. F.
Hukum Islam di Era Reformasi Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan
kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang
panjang, di era ini setidaknya hukum
Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang
berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu
daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya
suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang
semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud
undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah
satu buktinya adalah Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem
hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat
melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang
bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai
norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
BAB III PENUTUP
Era reformasi yang penuh keterbukaan
tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin
menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun
sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini
dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah
juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa
perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan
berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam
menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya
akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan
dengan kema’rufan Islam. Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam
yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan
kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan
daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi,
daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan
cita-cita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar