Membaca Isyarat
Kalau diperhatikan, nampaknya banyak orang yang tidak mampu membaca isyarat. Ada pesan yang tersurat (yang diutarakan atau ditulis secara langsung) dan ada pesan yang tersirat (yang tidak langsung tertulis).
Apa penyebab ketidakmapuan membaca isyarat ini ya? Saya menduga ini terkait dengan pendidikan. Siswa terlalu banyak “disuapi” sehingga tidak berusaha untuk belajar sendiri. Semua tanda-tanda dikatakan secara langsung sehingga siswa tidak dapat mengembangkan naluri untuk membaca sendiri.
Pernah saya contohkan juga dalam tulisan di blog ini tentang perbedaan cara orang Indonesia dan orang Barat dalam bercerita. Untuk mengutarakan “menunggu lama sekali” dalam film, terlihat perbedaannya. Di film Indonesia, sang aktor akan berdiri dan berkata “aku menunggu lama sekali”. Sementara dalam film Barat, sang aktor tidak berkata-kata tetapi di depannya ada asbak dan setumpuk puntung rokok. (Meskipun sekarang akan berbeda karena rokok dianggap politically incorrect.) Ini hanya sebagai contoh saja. Mungkin karena dibiasakan seperti ini, maka orang Indonesia menjadi kurang mampu membaca isyarat.
Nah, yang lebih parah lagi adalah “membaca isyarat” dalam tulisan. Itulah sebabnya sering terjadi kesalahpahaman dan keributan di media sosial karena masalah ketidakmapuan membaca isyarat ini. Ada tulisan yang sebetulnya mengatakan “A”, tetapi menjadi dibaca “B”. Yang sudah terlihat secara fisik saja sudah susah, apalagi yang hanya dalam bentuk tulisan. Emoticons dan emoji sedikit membantu, tetapi masih susah untuk menjabarkan makna sebenarnya.
Jadi harusnya bagaimana? Mungkin memang kita harus mengubah pelajaran yang ada dan teknik penyampaiannya. Wah, ini sih perjalanan panjang. Memang. Tidak ada jalan pintas untuk mengubah sebuah kebudayaan. Atau, kita mau tetap seperti ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar